Review Negeri 5 Menara


Pernah ga sih ngerasain rindu sama tempat yang sama sekali belum pernah kita datangi ? Itu adalah perasaanku ketika pulang kerja, pengen cepet-cepet sampai rumah dan ngelanjutin halaman demi halaman Negeri 5 Menara karya A. Fuadi. Di bumi Jawa Timur, pelosok kampung udik di Ponorogo, jauh sekali dari hingar bingar perkotaan itu aku seakan merasakan getar kehidupan sebuah Pondok yang menggema disetiap sudut bumi. Aku selalu saja rindu untuk membacanya lagi dan lagi, ialah Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor yang damai. Sebenarnya dulu waktu libur lulusan, aku pernah dipinjami novel ini oleh saudaraku. Bermodalkan kata "bagus banget" dari komentarnya  tentang novel itu, akhirnya aku pinjam dengan catatan seminggu harus balik karena dia juga cuma pinjam. Dan seminggu kemudian ku kembalikan novelnya tapi baru setengah ku baca alias ora rampung. Selang kira-kira setahun setelah itu dengar kabar kalau novel itu difilmkan. Aku adalah orang yang selalu ragu untuk nonton film indonesia yang di adaptasi dari novel best seller. Membaca novelnya akan menjadi pilihan paling tepat dari pada nonton. Bukannya jelek, aku sangat mengapresiasi film indonesia dan para sineasnya. Tapi kalo boleh memilih, its better for me to read than watch. Kelebihan atau nyawa yang benar-benar sampai kehatiku ketika nonton film indonesia buatku adalah lagunya. Sebut saja lagu Diatas Awan di film 5 cm, Laskar Pelangi untuk film Laskar Pelangi.
Nah setelah bertahun yang lalu aku nonton filmnya, aku mulai melupakan kisah di novel itu. Baru beberapa hari yang lalu, saat aku ke toko buku, entah mengapa pilihanku adalah novel "Negeri 5 Menara". Padahal udah pernah baca separo dan udah pernah nonton filmnya. Maafkeun, mungkin aku ini adalah blogger amatir yang ketinggalan jaman banget mengulas novel yang pertama terbit Juli 2009 lalu. Lebih baik mereview sekarang daripada tidak sama sekali, yes.
 
Tokoh utama dalam novel ini bernama Alif Fikri. Ia adalah remaja berprestasi dari pelosok Sumatera Barat, dekat dengan Danau Maninjau yang bercita-cita melanjutkan sekolah ke SMA favorit di Bukittinggi, mimpi yang selalu ia nantikan. Tapi mimpi itu lenyap karena Amak (ibu) nya yang memohon kepadanya untuk sekolah di Madrasah Aliyah (sekolah agama setingkat SMA)
Euforia kelulusannya pun hilang seketika saat mendengar saran Amaknya. Kala itu Alif melakukan demo tidak keluar kamar dan memilih untuk merantau ke Jawa Timur untuk menjadi santri di Ponpes dengan dorongan dari orang tuanya

Di Pondok Pesantren Madani - read Pondok Pesantren Modern Gontor itu kegalauan dan cerita hebat Alif Fikri dimulai. Ia bertemu dengan sahabat terhebat, Raja, Baso, Atang, Dulmajid dan Said dari berbagai daerah di Indonesia. Kemudian merekalah yang kemudian disebut Sahibul Menara di Pondok Madani (PM). Tahun pertama ia merasakan terlalu ketatnya peraturan di Ponpes. Hingga Alif dan dan teman-temannya berfikir tidak ada masa depan setelah mereka lulus dari PM. Tak ada ijazah yg dikeluarkan PM, hanyalah bekal ilmu yang akan diberikan PM kepada ribuan santrinya. Ditahun pertama yang berat itu Alif berfikir bahwa keputusannya merantau di pondok adalah kesalahan. Di PM semua santri diwajibkan menggunakan bahasa Inggris dan Arab. Bahasa Arab diajarkan dengan cara sederhana, menggunakan metode "dengar, ikuti, teriakkan dan ulangi lagi". Tidak ada terjemahan bahasa Indonesia sama sekali. Pengulangan dan teriakan tadi adalah metode ampuh untuk menginternalisasi bahasa baru ke dalam sel otak dan membangun refleks bahasa yang bertahan lama. Inilah yang membuat PM terkenal dengan kemampuan muridnya berbicara aktif. Mereka menyebut "direct method".

Kegiatan belajar pun dimulai dari 04.00-22.00. Dari situlah kebiasaan terbentuk kepada santri PM. Hafalan Quran, sejarah hingga hukuman tak pernah dilewatkan Sahibul Menara. Adalah Ustad dan Kyai yang setiap harinya membakar semangat Islam dalam hati Santri-santrinya. Tokoh Ustad Salman yang dengan lantang meneriakkan Man Jadda Wajada (siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil) disetiap kelasnya, Ustad Surur yang mengajak menyusuri jejak kejayaan dan keruntuhan Islam ditiap sudut bumi, Cordoba, Granada, Malaga, Seville, Palestina dan dengan piawainya membawa muridnya ke masa tahun gajah dengan seorang sederahana dengan ijin Tuhan menbuat perubahan besar pada dunia. Tak lupa sang Kiai Rais, pimpinan PM yang selalu menyuarakan tuntutlah ilmu setinggi langit, berbuatlah baik sesama, hormati ibumu, dan nasihat mainstream yang disampaikan dengan bahasa yang sempurna hingga masuk ke hati ribuan santri yg mendengarkan. 

Jiwa keikhlasan dipertontonkan setiap hari di PM. Semua guru sama sekali tidak menerima gaji untuk mengajar. Mereka semua tinggal didalam PM dan diberi fasilitas hidup yang cukup. Dengan tidak adanya ekspektasi gaji dari semenjak awal, niat mereka menjadi khalis. Mengajar hanya karena ibadah, karena perintah Tuhan. Titik. Inilah energi yang terus memutar mesin PM. Aura tebal yang menyelimuti segala penjuru, dan ruh yang menguatkan semuanya. Apapun kegiatan, baik senang maupun tidak, selalu dilipur dan dihibur dengan potongan kalimat: "ikhlaskan ya akhi..." sekalipun saat dihukum. Sebuah prinsip yang sakti dan manjur.

Emosi dalam novel ini terbentuk ketika Baso, anggota Sahibul Menara yang yatim piatu sejak kecil terpaksa meninggalkan PM demi berbakti kepada neneknya yg sakit dan harus pulang ke kampungnya, Gowa. Saat itu anggota Sahibul Menara yang lain baru sadar jika selama ini Baso mati-matian menghafal Quran hanya ingin memakaikan jubah kemuliaan untuk orang tuanya diakhirat. Alif seperti dapat tamparan. Baso yang dengan berat hati meninggalkan PM dengan alasan ingin berbakti kepada neneknya, tapi ia malah sering berfikir meninggalkan PM karena iri kepada teman sekampungnya, Randai, yang rajin mengirim surat yang berisi kebahagiaannya masuk SMA dan kuliah di ITB, mimpi Alif dulu. Seketika itu juga ia bertekad untuk menyelesaikan pendidikannya di PM.

Pondok Pesantren Modern Gontor adalah pondok yang sangat terbuka pada dunia luar. Santri-santrinya didorong untuk mengirim surat ke luar negeri, meminta perusahaan/penerbit untuk mengirim majalah atau surat kabar lain. Setiap hari santri diperdengarkan radio bersaluran VOA berbahasa inggris. Liputan-liputan langsung dari benua Amerika itulah yang setiap sore melambungkan diskusi kecil Sahibul Menara tentang bagaimana keadaan Islam di Amerika. Bergeser sedikit ke arah timur mereka kembali melambungkan mimpi-mimpi untuk mengunjungi daratan masyur Eropa dan Afrika yang eksotik. 

Akhir dalam novel ini menceritakan pertemuan Sahibul Menara di Trafalgar Square, London, pada Desember 2003 setelah 11 tahun tidak bertemu. Alif sendiri-sebagai Ahmad Fuadi setelah  kuliah HI di UNPAD, beliau menjadi wartawan Tempo (mimpinya sewaktu di PM). Tahun 1999 beliau mendapat beasiswa di George Washington University (ini juga merupakan mimpi masa kecilnya). Tahun 2003 beliau mendapat tugas liputan di Inggris yang selanjutnya merupakan pertemuan anggota Sahibul Menara.

Novel ini mengingatkanku pada kawan kuliah, namanya Elisa, ia juga anak pondok di Jawa Barat. Dulu dia pernah bilang "Besok kalo punya anak mau tak kasih ke pesantren". Aku yang waktu itu masih ragu denagn Pondok Pesantren, setelah membaca novel ini jadi sepakat dengan kawanku. Tempat berpijaknya memang sempit, tapi mimpi dan cita-citanya membumbung tinggi  menelusuri tiap sudut bumi. Buku ini adalah novel indonesia kedua yang mengajakku bermimpi setelah buku Andrea Hirata.

Setelah membuka laman dan mencari informasi tentang Gontor, saya menemukan beberapa alumni Gontor, diantaranya: Bapak Lukman Hakim Syaifudin-Menteri Agama RI, Bapak Emha Ainun Najib- Sastrawan, Bapak Din Syamsudin-Ketua Muhammadiyah, Bapak Muchlis Hanafi-yang sekarang sedang menjadi buah bibir masyarakat, penerjemah komunikasi Bapak Presiden Jokowi dengan Raja Salman, dan masih banyak lagi.

Diantara banyaknya komentar tentang novel ini, dari Mantan Presiden, Pejabat, Sastrawan, Wartawan hingga Pimpinan Pondok Gontor sendiri, kali ini aku akan mencuplik komentar dari Gola Gong, Pengarang dan Pengelola Rumah Dunia:
"Negeri 5 Menara" membuat saya ingin kembali memutar arus waktu. Saya ingin kembali ke masa kanak-kanak dan mengalami masa seperti Alif, Said, Atang, Dulmajid, Baso dan Raja. Masa dimana merajut cita-cita, membentangkan permadani mimpi seluas samudera sangatlah indah. Novel ini lagi-lagi semakin meyakinkan saya, bahwa dengan bermimpi kita memiliki masa depan. Buku ini bagus sekali untuk dibaca oleh keluarga muda, yang sedang merenda hari depan. Membaca buku ini semakin memastikan bahwa hidup ini indah dan memiliki cita-cita setinggi langit adalah sesuatu yang memungkinkan. Seperti yang ditulis pengarang buku ini "modal kami hanyalah berani bermimpi, lalu berusaha, bekerja keras dan menggenapkan dengan doa. Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil..." Jadi bacalah buku ini!  Dan kita akan mendapatkan spirit itu.

Komentar

  1. bagus,, bacanya bikin merinding (entah karna AC nya terlalu dingin atau emang tulisannya yang keren) :D

    ditunggu review buku lainnya ^_^

    BalasHapus
  2. Terimakasih. Insyaallah akan lebih banyak mereview buku :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Novel "Milea - Suara Dari Dilan"

Film Beauty And The Beast 2017

Ulasan Novel Dilan - Pidi Baiq