Perjalanan (belum selesai)
Hari ini Jogja hujan lebat.
Mendamaikan hati siapapun yang melihatnya. Kantorku yang berada di lantai 2
tampak sepi karna sebagian karyawan banyak yang sedang keluar. Dan aku hanya
memandangi guyuran air langit yang masih setia memberikan kesejukan untuk dedaunan.
Seperti yang telah ku tuliskan di
satu judul blogku. Makna sesungguhnya dari perjalanan. Perjalanan yang
teramaaat jauh. Perjalanan yang PASTI akan kita lalui. Dilalui dengan siapa?
Hanya seorang diri. Dilembab dan gelapnya kubur, dan teriknya mahsyar.
Kali ini aku mau menceritakan
sedikit tentang gejolak hati yang aku sendiri bingung mengartikannya. Semua ini
berawal dari niatku untuk sedikit meracuni otak dan hatiku dengan bacaan yang
sedikit berbau Islam. Ya masak segede gini buku yang paling banyak dibeli masih
novel. Dan dari situlah
aku berkali-kali “ditampar” oleh sebuah buku.
Entah apa yang membuat tanganku
mengarahkan buku bercover merah. Mungkin karena warnanya menarik perhatianku.
Bergambar pohon kokoh yang berbentuk hati. Aku masih membolak-balik buku yang
masih bersampul plastik itu. Ternyata buku itu tinggal satu, dan berada
ditumpukan buku lainnya. Terlihat tulisan indah “Air Mata Cinta Pembersih Dosa”
karya Ibnu al-Jauzi. Setelah menemukan satu novel legendaris dari Sultan Takdir
Alisjahbana “Layar Terkembang”, keduanya kubawa ke kasir.
Beberapa hari setelahnya aku baru
sempat menyentuh kedua buku tersebut. Pertama yang kubuka sampul plastiknya
adalah Air Mata Cinta Pembersih Dosa
Pertama-tama buku itu membahas
tingkatan kehidupan:
1. Dari tanah menuju tulang sulbi
2. Dari tulang sulbi menuju rahim
3. Dari rahim menuju dunia
4. Dari dunia menuju kubur
5. Dari kubur menuju mahsyar
6. Dari mahsyar menuju negeri abadi: surga atau neraka
Jika kamu sedang baca tulisan ini, berati perjalanan tersisa
yang belum kita tempuh adalah perjalanan terberat.
Dalam buku itu banyak sekali
bagian yang seolah menyudutkan manusia. Menganggap betapa bodohnya manusia yang
banyak sekali diberi pertanda tapi mengabaikan. Betapa hinanya mereka yang
terlena melewati masa di dunia dengan segala yang membutakan mata hati mereka.
Betapa dunia ini hanya tempat kita mengumpulkan bekal untuk menuju perjalanan
yang benar-benar kekal.
Buku itu mengingatkan kita
tentang kematian yang berasa tipis terhalang udara tepat di depan kita. Buku
yang menyadarkanku bisa saja esok hari aku masih bisa tersenyum dan sorenya aku
sudah ada di liang yang begitu gelap, sendiri tanpa ada keluarga dan kawan
lagi. Begitu merindingnya aku ketika bab-bab kematian di ulas lebih jauh, yang
menyadarkanku akan perjalanan jauh suatu saat nanti yang akan aku alami. Dimana
saat itu tiba kita tak akan sempat lagi memikirkan harta, memikirkan orang yang
kita sayang, memikirkan dendam ke orang yang pernah menyakiti kita di dunia.
Yang kita pikirkan saat tiba waktunya tiba adalah keselamatan kita sendiri,
apakah timbangan lebih berat di amal baik atau sebaliknya, dan rasa menyesal
yang teramat dalam. Sungguh manusia tak akan sanggup untuk menanggung segala
azab-Nya.
Di beberapa puluh halaman
terakhir, buku tersebut mengulas banyak sekali dosa yang tidak pernah kita
sadari, yaitu ghibah (bergunjing) sebesar apa dan sedetail apa itu bergunjing
sangat-sangat menjadi perhatian penulis. Banyak sekali kisah-kisah Nabi yang
mengingatkan kita tentang bergunjing.
Dibuku itu dikisahkan seorang
umat yang semasa hidupnya rajin beribadah dan puasa, tetapi ketika meninggal ia
mendapati amalnya yang kosong. Ia merasa seumur hidupnya beramal dengan baik
dan benar, maka itu dia menganggap bahwa
itu bukan amalnya. Allah pun menjawab mengapa ia mendapat neraka, karena pada
akhir hidupnya ia berghibah. Barang siapa ia berghibah (bergunjing/membicarakan
hal buruk orang lain) maka dosa orang yang ia bicarakan akan berpindah pada
orang yang membicarakan, dan amal orang yang membicarakan akan pindah ke orang
yang dibicarakan.
Tentang buku itu, pastilah penulisnya
akan menerima amal jariyah yang sangat banyak jika pembacanya adalah orang-orang
yang masih peka dengan segala tanda-tandaNya. Bahwa betapa kita seharusnya
menjual yang fana dengan yang kekal. Menyadarkan betapa seharusnya aku segera
berdamai dengan segalanya.
Saya lihat di TV katanya kota jogya itu sedang di landa hujan dan juga di sertai angin kencang ya mbak ?
BalasHapusIya, beberapa hari lalu. Alhamdulillah sekarang sudah tidak ada.
BalasHapus