Random



“Adakah yang lebih indah dari menatap rintik hujan di Jogjakarta, bersama seseorang yang selalu ada dalam tangis dan tawamu?” Itu adalah ungkapan Bian dari film Raksasa Dari Jogja yang sejam lalu ku tonton. Percaya ga percaya saking rindunya sama Jogja sampe apapun yang ada hubungannya sama nama Jogjakarta pasti dilihat, salah satunya film itu. Berawal dari lagu Karina Salim berjudul Imaji Sunyi yang nemu di youtube, lalu nonton film Salawaku kemarin, dan hari ini nonton Raksasa Dari Jogja.

Tentang rindu, sekali lagi aku masih saja belum bisa mengatasinya. Bahkan kali ini entah mengapa terasa lebih menyesakkan. Oh Tuhan, rasanya kenapa tiap kali sendirian bawaannya mellow ya.  Padahal bulan Agustus kemarin sudah pulang ke Jogja 2 minggu. Tapi baru ngerasain rindu ibu yang semembunuh ini. Mau tidur nangis, telpon nangis, liat pasien ibu-ibu pake kursi roda sesak, baca postingan tentang ibu nangis. Bener kalo kata orang di umur ini membuat apa yang dikatakan ibu saat nasehatin kita tu bener ya. Tentang nabung, jangan boros, jangan cuek, sholat nomor satu, itu semua bener bangeet. 

Well akhir-akhir ini memang aku lagi menuruti semua apa yang ku pengen. Yah itu semua dimulai sejak tempat kerja ada akreditasi. Ku pikir membuat suasana hati senang sangat berpengaruh untuk kualitas kerja yang hampir tiap hari lembur ini. Stress ngga? Ya tentu. Kerjaan menggunung membuatku tertekan.  Tapi aku bersyukur karna bisa mengalihkan perihal rindu sialan itu yang kapanpun bisa hadir. Tapi bisa apa selain doa atau telpon, tentunya dengan suara yang sering kali tercekat. 

Seperti yang baru saja ku lakukan, telpon kakak yang ada di Bekasi terkadang menjadi pilihan. Sekedar menanyakan kabar ponakanku atau kabar tetangga-tetangganya. Yah, hidup 4 bulan disana membuatku terbiasa dengan lingkungan sekitar. Panasnya, macetnya, ngumpulnya atau tak jarang marahin ponakan yang bandel rasanya tiap hari hampir ku lakukan. Video call bisa sampe 1jam cuma ngobrolin masak apa hari ini atau ngomongin jalan tol yang baru dibangun dekat perumahan kakakku. Rasanya pengen kesana, pasti beberapa tahun mendatang akan banyak yang berubah karna gubernurnya pak Ridwan Kamil.

Ngomong-ngomong dulu aku pernah menyimpulkan kota yang paling ideal untuk ditinggali kalo ngga di Jogja, ya di Bandung. Sekarang kenapa malah semakin jauh dari keduanya ya. Ah entahlah. Mungkin takdir yang mengantarkanku ke tempat ini. Allah lebih mengerti apa yang terbaik untukku. Begitu juga masalah jodoh. Lho lho kok jadi ngebahas jodoh sih. Haha tapi bener sih ya, kadang kita doa terus minta sama si A agar dikasih jalan terbaik. Tapi seiring berjalannya waktu Allah beri petunjuk si A gacocok. Aku yakin dunia ini berputar. I mean, dikala teman-teman sudah banyak yang nikah dan mau menikah, aku justru dihadapkan pada urusan rindu dan jodoh yang masih menggantung. Boong banget deh kalo gapengen nikah. Bahkan ada teman yang bilang kalo aku terlalu pemilih banget. Jawabannya adalah antara ya dan tidak. Agak ribet emang. Tapi ya begitulah, memang ada satu keharusan yang masuk dalam kriteriaku. Aduh sejak kapan ya aku curhat masalah beginian di blog. Tapi ya sudahlah demi mengurangi kegalauan ini. Everyone has their own time. And maybe this is not my time. At least, tahun 2018 ini menjadi tahun pembelajaran untukku. Dan tentu saja menikah adalah list teratas untuk wishlist-ku demi tercapainya cita-cita #2019gantistatus ! Haha. 

Kita ganti topik pemirsa. Buanyaaak buangett kejadian yang terjadi di tahun ini. Banyak sekali yang ku rekam dihatiku untuk dikenang tentunya. Gausah dishare disini lah ya. Tapi ada salah satu berita yang aku pengen mengabadikan sedikit di salah satu judul blogku yaitu, berpulangnya sastrawan yang teramat saya kagumi, Nh. Dini pada tanggal 4 Desember 2018 kemarin. Agak miris jika mengikuti jejak hidup masa tuanya. Tapi insyaAllah jalan ini membuat beliau bahagia sekali disana. Membaca novelnya waktu SMP benar-benar bisa memberi memori yang indah kala itu. Ya, dulu aku sering menikmati waktu sendiri dengan bukunya diperpustakaan. Nh. Dini, Mira W, Ari Nur menjadi penulis yang banyak saya baca kala itu. Terimakasih sudah membawa lagi kenangan SMPku ketika aku membuka kembali lembar demi lembar kisahmu. Sampai disi dulu kegalauan tentang kerinduan sama kota Istimewa dan segala isinya. Kamsahamnida, sudah membaca.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Novel "Milea - Suara Dari Dilan"

Incredible Journey

Ulasan Novel Dilan - Pidi Baiq