Rinai Sore
Jam masih
menunjukkann setengah empat sore. Tetapi cuaca sore ini seperti sudah
menjelang azan magrib karena mendung tebal sejak siang tadi. Hujan yang tak kunjung
reda pun menambah romantisme kota jogja, setidaknya itu bagiku. Hari ini hari minggu. Rencana yang tadinya
akan kumpul dengan teman SMA pun terpaksa dibatalkan karena rinai air langit masih setia memberi nafas
segar untuk tanah. Menimbulkan aroma khasnya. Hmm… aku selalu suka hujan.
Tempat tinggalku yang berada di ujung desa pun semakin memberi
ketenangan. Dirumahku, ketika membuka pintu, maka yang ditemukan pertama kali adalah hamparan sawah nun hijau mendamaikan mata. Sekarang sedang musim padi.
Semua petak sawah sedang menghijau segar. Tampak bayi padi yang akan segera mekar sebelum
semakin tertunduk. Tapi hari ini hijaunya sawah tak bisa nun jauh dipandang. Hujan yang turun membuat pandangan sawah tak sampai terlihat semua. Lebatnya hujan menghalangi pandanganku. Hanya tampak samar-samar genteng rumah dan Sekolah Dasar di seberang sawah di ujung
pandangan. Genteng itu berwarna abu-abu, tampak kecil dilihat dari rumahku.
Saat ini sedang hujan. Dan hujan selalu
mengajarkanku tentang bersyukur.
Mataku tak berpaling sedikitpun dari pemandangan hijau di seberangku. Hanya di lewati rinai air yang turun gemericik dari atas genteng rumah. Bak tirai air yang tiada henti sejak tadi.
Aku mengamati setiap tetes air yang jatuh membasahi bumi, bergantian membuat lingkaran gelombang kecil di halaman rumah.
Mataku tak berpaling sedikitpun dari pemandangan hijau di seberangku. Hanya di lewati rinai air yang turun gemericik dari atas genteng rumah. Bak tirai air yang tiada henti sejak tadi.
Aku mengamati setiap tetes air yang jatuh membasahi bumi, bergantian membuat lingkaran gelombang kecil di halaman rumah.
Kini kusadari, tuhan ternyata sangat adil mengatur hidupku. Lima hari dalam seminggu
aku bekerja dikota, yang selalu dihadang macet tiap berangkat dan pulang, tetapi tiap akhir pekan
selalu diberikan pemandangan sisi lain perkotaan jogja yang sudah mulai sesak
ini. Beruntung diriku
dilahirkan di kampung, meskipun di
Jogja paling selatan. Mendekati pantai. Disini,
dirumahku, tidak ada bising motor yang berlalu lalang seperti di kota.
Saat malam hari, disini hanya ada suara jangkrik dan jika musim hujan
akan ada banyak suara kodok bernyanyi sampai pagi. Sunyi dan sepi. Setidaknya saat aku pulang menuju rumah, akan banyak sapaan khas ramahnya masyarakat jogja, basa basi menanyakan “
lagi bali din” atau sapaanku yang entah berapa kali aku harus bilang “nderek langkung
mbah, de, lek,pak,buk” dan sebagainya.
Sayang, Indonesia yang terkenal dengan ramah tamah masyarakatnya kini muulai
terkikis budaya dan adat nya dengan cepat tanpa tedeng aling-alin. Generasi yang seharusya
melanjutkan warisan justru mulai meninggalkan kebiasaan ramah kepada lingkungan
sekitar. Naik motor ngebut tanpa ba
bi bu, asik
bermain hp sendiri, padahal usianya masih Sekolah
Dasar.
Pecah lamunanku. Anak kecil usia satu tahun tiga bulan tiba-tiba memegang pundakku
dan segera minta dipangku. Radif, keponakanku yang sangat lucu ini selalu bertingkah manja ketika aku dirumah
seharian. Maklum, ketika aku pulang kerja
dia sudah lelah untuk bermain lagi denganku. Novel “Nada
Tanpa Kata” karya Mira W disampingku yang tadinya akan ku lanjutkan
membacanya pun harus ku singkirkan lagi karena lamunan tadi dan gangguan si
ponakan. Karna
dia sudah duduk dipangkuanku dan minta di nyanyikan cicak-cicak di dinding. Tapi dengan halus
kutolak karena sore nan syahdu berhujan hari ini lebih tepat untuk bernyanyi
tik-tik bunyi
hujan bersamanya.
Komentar
Posting Komentar